Contoh Kasus HAKI dan Dampaknya
Oleh:
Syafira N. P. (4ID01/3A414563)
Hak kekayaan intelektual adalah
sebuah wilayah hukum yang menangani hak-hak yang berhubungan dengan hasil usaha
kreatif manusia atau reputasi komersial dan goodwill. Hak Atas Kekayaan
Intelektual (HAKI) atau Hak Milik Intelektual (HMI) atau harta intelek (di
Malaysia) ini merupakan padanan dari bahasa Inggris Intellectual Property Right. Kata “intelektual” tercermin bahwa
obyek kekayaan intelektual tersebut adalah kecerdasan, daya pikir, atau produk
pemikiran manusia (the Creations of the
Human Mind) (WIPO, 1988:3).
Hak Atas Kekayaan Intelektual
(HAKI) adalah hak eksklusif Yang diberikan suatu peraturan kepada seseorang
atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Secara sederhana HAKI mencakup Hak
Cipta, Hak Paten Dan Hak Merk. Namun jika dilihat lebih rinci HAKI merupakan
bagian dari benda (Saidin : 1995), yaitu benda tidak berwujud (benda
imateriil).
Hak Atas Kekayaan Intelektual
(HAKI) termasuk dalam bagian hak atas benda tak berwujud (seperti Paten, merek,
Dan hak cipta). Hak Atas Kekayaan Intelektual sifatnya berwujud, berupa
informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra, keterampilan dan
sebaginya Yang tidak mempunyai bentuk tertentu.
Kasus Mengenai Hak Cipta
(Bidang Fotografi)
Fotografi sudah menjadi bagian
hidup masyarakat dan merupakan salah satu bidang yang banyak digeluti baik
untuk kepentingan pribadi seperti hobi maupun kepentingan komersil, seperti
iklan atau promosi. Dalam fotografi, seorang fotografer tidak bisa sembarangan
mengenai objek fotonya baik itu suatu benda atau seseorang. 
Fotografi termasuk ciptaan yang
dilindungi dan foto-foto yang dihasilkan dilekati dengan apa yang disebut
Copyright dan Related Rights.  Copyright
merupakan suatu hak yang dimiliki oleh pencipta, yang dalam hal ini adalah
fotografer, atas karya originalnya baik yang dipublikasikan atau tidak.
Sedangkan Related Rights adalah hak yang juga dipegang oleh institusi berupa
lisensi. 
Dalam dunia industri, fotografi
juga memiliki peranan yang penting dalam rangka mengenalkan produknya ke
pasaran. Biasanya produsen akan menggunakan foto dari produknya yang kadang
juga disertai dengan foto model yang dapat menambah daya tarik iklan tersebut.
Bila suatu perusahaan menggunakan seseorang sebagai model maka perusahaan
tersebut harus terlebih dahulu meminta izin kepada orang tersebut sebelum
menggunakan fotonya. Namun pada praktiknya, masih ada saja perusahaan yang
menggunakan foto tanpa izin dari orang yang menjadi objek atau fotografernya,
seperti yang terdapat dalam artikel berikut ini:
JAKARTA
– Chef ternama Farah Quinn, 35,  berang karena kasus pencatutan fotonya.
Dalam jumpa pers di Kemang kemarin, Farah mengungkapkan dugaan pelanggaran hak
cipta oleh situs belanja online Qoo10. Menurutnya, situs tersebut memajang
sejumlah fotonya untuk kepentingan penjualan alat-alat dapur, tapi tanpa
seizinnya.
 ”Ini penting karena bisa
merusak reputasi saya. Saya enggak mau foto saya dipakai sembarangan untuk
pasarkan produk tanpa izin,” tegas Farah.
Chef cantik itu pun menggandeng
pengacara untuk mengatasi masalah itu. Sebab, pelanggaran hak cipta tersebut
dilakukan sejak September 2015. Farah mengaku sudah melayangkan somasi tiga
kali kepada situs tersebut. Tapi, tidak ada tanggapan. Salah satu contoh
pelanggaran situs itu, foto Farah dicatut untuk produk pisau. ”Foto itu diambil
dari sampul buku Farah,” kata Masyhudi S. Prawira, pengacara Farah. Beberapa
foto, papar dia, sudah dicabut. Tapi, ternyata situs tersebut menggunakan foto
lainnya lagi. Karena itu, Farah melapor ke Mabes Polri pada Rabu (16/3).
Farah tidak ingin masalah
tersebut dianggap sepele. Apalagi, dalam waktu dekat dia juga mengeluarkan
produk perlengkapan dapur sendiri. ”Tahun ini saya sedang fokus untuk merilis
produk sendiri. Saya enggak tahu kualitas produk itu seperti apa, dikira saya
yang punya,” tandas Farah. (dod/c11/jan/flo/jpnn)
  Menurut Pasal 12 ayat (1) huruf j UUHC,
fotografi termasuk ciptaan yang dilindungi. Selanjutnya, pengaturan hak cipta
untuk potret/fotografi diatur dalam Pasal 19 s.d. Pasal 23 UUHC. Selain
itu, terhadap fotografi terdapat pembatasan atas penggunaan hak cipta
sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UUHC yang berbunyi:
1)    
Untuk memperbanyak atau
mengumumkan Ciptaannya, Pemegang Hak Cipta atas Potret seseorang harus terlebih
dahulu mendapatkan izin dari orang yang dipotret,
atau izin ahli warisnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah orang
yang dipotret meninggal dunia.
2)    
Jika suatu Potret memuat gambar
2 (dua) orang atau lebih, untuk Perbanyakan atau Pengumuman setiap orang yang
dipotret, apabila Pengumuman atau Perbanyakan itu memuat juga orang lain dalam
Potret itu, Pemegang Hak Cipta harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari
setiap orang dalam Potret itu, atau izin ahli waris masing-masing dalam jangka
waktu 10 (sepuluh) tahun setelah yang dipotret meninggal dunia.
3)     Ketentuan
dalam Pasal ini hanya berlaku terhadap Potret yang dibuat:
a.     atas
permintaan sendiri dari orang yang dipotret;
b.     atas
permintaan yang dilakukan atas nama orang yang dipotret; atau
c.     untuk
kepentingan orang yang dipotret.
Dalam Pasal 12 UU Hak Cipta,
yang melarang penggunaan foto secara komersial, penggandaan, pengumuman,
pendistribusian, dan/atau komunikasi atas potret yang dibuat guna kepentingan
reklame atau periklanan secara komersil tanpa pesetujuan tertulis dari orang
yang dipotret atau ahli warisnya. Sehingga dalam kasus diatas, situs belanja
online tersebut dapat dikatakan melanggar hak cipta karena sudah menggunakan
foto tanpa seizin dari orang yang ada dalam foto tersebut, yaitu Farah Quinn.
Terlebih lagi, hal itu dilakukan lebih dari satu kali dan pihak yang
menggunakan fotonya bukanlah pemegang hak cipta dari foto yang bersangkutan.
Hal ini tentu membuat Farah Quinn merasa dirugikan.
Permasalahan seperti di atas
tersebut diakibatkan karena masih kurangnya pemahaman mengenai hukum mengenai
hak cipta dan juga kurangnya kesadaran masyarakat terhadap hak-hak yang
dilindungi oleh hak cipta, terutama di bidang fotografi.
Sebaiknya, masyarakat diberi
pemahaman lebih mengenai peraturan hak cipta—dan bukan hanya dalam bidang
fotografi—karena suatu karya cipta adalah hasil dari usaha, kreativitas, dan
pemikiran yang harus dihargai dan agar di masa yang akan datang tidak ada lagi
pihak yang dirugikan.
Adapun beberapa dampak dari pelanggaran hak cipta
adalah:
·      
Menimbulkan
sikap saling acuh antara pencipta dengan pembajak. Pada kasus diatas, pengguna
foto Farah Quinn sudah bersikap acuh dan tidak bertanggung jawab dengan
menggunakan foto Farah Quinn pada salah satu merk perlengkapan dapur.
·      
Merugikan
baik secara materil dan imateril kepada pencipta. Pada kasus diatas, penggunaan
foto Farah Quinn membuat Farah Quinn merasa dirugikan karena akan mencemarkan
nama baiknya.
·      
Menimbulkan
terjadinya penurunan minat dari masyarakat ke pada produk asli dan lebih
memilih produk bajakan yg harganya jauh lebih murah dari produk aslinya. Pada
kasus diatas, Farah Quinn mengatakan bahwa dirinya akan mengeluarkan produk
perlengkapan dapur sendiri. Apabila fotonya telah digunakan pada penjualan
perlengkapan dapur di situs belanja online, dikhawatirkan masyarakat akan
mengira bahwa perlengkapan dapur tersebut adalah merk yang dikeluarkan oleh
Farah Quinn dan justru menurunkan minat masyarakat terhadap produk perlengkapan
dapur yang memang benar-benar dikeluarkan oleh Farah Quinn.
·      
Sehingga
dengan terjadinya kejadian di atas, membuat terbentuknya beberapa bentuk-bentuk
cybercrime, salah satunya adalah offense against intellectual
property, yang merupakan kejahatan yang dilakukan dengan cara
menggunakan hak kekayaan intelektual yang dimiliki pihak lain di internet. Pada
kasus di atas, kemungkinan dapat timbul masalah lain dimana foto Farah Quinn
yang tidak seharusnya dipasang pada situs belanja online yang bersangkutan bisa saja digunakan oleh pihak lain yang
tidak bertanggung jawab.
Sumber:
